Emosi sering diidentikkan dengan hal negatif, padahal secara harfiah, emosi merupakan gambaran reaksi alamiah yang timbul sebagai dampak terjadinya perubahan disekitar. Oleh karena itu, emosi bisa muncul secara positif maupun negatif.
Mengenai emosi ini, hal yang penting adalah tentang how to manage your emotion, especially for negatif side.
Duluuuu banget saat masih punya anak satu, saya bisa katakan dengan lantang bahwa saya tak pernah sekalipun marah kepada anak saya. Waktu itu, saya sampai heran kenapa ada ibu yang tega memarahi anaknya. Ternyata ketika anak kedua lahir kondisi emosional saya menjadi kacau, kesabaran saya menurun drastis. Sempat pada suatu malam saya menaikkan volume suara saya ke Sybil karena sesuatu hal, anak yang notabene sama sekali belum pernah saya marahi, kemudian mendapatkan mimik dan intonasi suara yang sedikit berbeda pasti langsung kaget. Saya benar-benar sangat bersalah, saya menangisi kekeliruan itu dan meminta maaf kepadanya. *pun menuliskan ini rasanya ada sesak di dada.
Makin kesini dengan kondisi anak dua bertambah besar yang sering melejitkan drama, emosi negatif saya sering tersulut walau munculnya pun sebenarnya tidak bisa dibilang marah, namun benar-benar perlu untuk dimaintain dengan benar. Karena poin komunikasi produktif salah satunya mengendalikan intonasi suara & gunakan suara ramah dengan rumus 7-38-55, 7% verbal, 38% intonasi suara, 55% bahasa tubuh.
Siang ini saya gagal memanage emosi negatif saya. Saya bereaksi berlebihan terhadap emosinya Sybil. Saat mau mengantar dagangan di kompleks dengan kondisi saya yang sedang tidak enak badan (kaaan, lagi-lagi saya menyalahkan keadaan 😢 untuk mencari pembenaran) :
👱: Mama mau kemana koq pake kerudung?
👩: Mama mau ke rumah tante **** nganterin ini mas, mau ikut?
👱: iya ma, mas Sybil mau ikut
👩: yauda yuukkk, mama mau minta tolong papa ngeluarin motor
*karena bawaan yang segambreng, papa berniat mau nganterin mama muter kompleks, tapi ternyata ada yang protes.
*Sybil diam membisu tidak mau naik motor tapi tangannya memegang kencang stang motor.
👨: Ayo mas naik, mau di depan apa duduk dibelakang?
*no respon hanya pipi yang semakin cembung
👩: Mas, udah mau ujan nih, ayook. Jadi ikut nggak? Kalau tidak naek mama mau pergi sendiri saja.
👱: *masih tak bergeming
*Saya paham benar bahwa keputusan pergi bertiga itu diluar kesepakatan, awalnya kami akan pergi berdua saja, mama yang membawa motor dan Sybil yang menemani. As simple like that
*Tapi kondisi (lagi-lagi menyalahkan) saat itu benar-benar tidak bisa membuat saya berfikir jernih.
👩: yasudah kalau mas tidak mau naek. *saya lepaskan helm ke suami, dan saya berjalan kaki sambil bawa tentengan besar dagangan dibawah langit yang mulai mendung. Dan sybil pun menangis teriak-teriak. 😭😭
Emosi saya tersulut, intonasi suara saya meninggi dan saya tidak berfikir panjang. Dan tahukah apa yang membuat saya semakin feel Guilty?
Beberapa saat ketika saya sampai di blok sebelah, ada motor yang menghampiri saya, ternyata suami dan Sybil. Entah dialog seperti apa yang terjadi diantara mereka sehingga berhasil membawa membonceng Sybil.
👨: Udah nih ketemu mama, mama yang bawa motornya. *papa pun turun dari motor dan berlalu balik pulang dengan jalan kaki
*mama pegang setir motor sambil dipeluk erat mas Sybil sesuai dengan gambaran kesepakatan awal 😍😍
See, betapa tidak sabarnya saya jadi seorang ibu, betapa sederhananya permintaan seorang anak. And i’m guilty. GUILTY.