J for Jumping.

Apa keahlian seorang anak lelaki? Move, bergerak. Yaaak, anak-anak ini lagi senang-senangnya bergerak kesana kemari. Entah berapa banyak aktivitas yang serasa tak pernah menguras energinya, bak baterai yang selalu penuh. 😃


Dedek, kalau diperhatikan, terlihat lebih aktif dari eMasnya di umur yang sama. Mungkin karena ada yang dia tiru, karena fitrah seorang anak adalah belajar. Belajar menyerap segala hal. Termasuk aktivitas bergerak. Dia bisa berjalan lebih cepat, bisa berlari lebih cepat, bisa memanjat lebih cepat, dll. 😏😏

Sesudah lepas dari infus, which is lepas sendiri karena banyak gerak 😥😥, dedek merasa bebassssss. Langsung kesana kemari menghampiri eMas, menghampiri Papa, mama cuman geleng2 kepala antara gemes dan ngeri. Dan ketika eMas mempraktekkan jurus jumping:

👩: Dedek, kita duduk manis yuuuk
👶: *Diam beberapa saat melihat eMasnya, akhirnya mau duduk juga. Entah komprod mama yang berhasil atau dia ragu sendiri karena belum bisa jumping 😂😂😂😂.

Komprod kali ini dipenuhi dengan KISS (Keep Information Short and Simple) baik ke eMas maupun ke Dedek.

I for Information

Sebagai manusia yang berasal dari dua planet berbeda, woman from venus and man from mars 😛, tidak sekali dua kali terdapat beda pemikiran, debat, bahkan salah paham. .

Man with his rasionality and woman with her feeling, kalau salah paham pasti membuat baper (atau saya saja yang over baper 😛)

Husband with no romantic and wife with kdrama lover, kalau berniat ngasih kejutan pasti berakhir tragis meringis 😂😂😂

*Hilir mudik ke kanan ke kiri memastikan posisi benar
*Setelah akhirnya telpon diangkat setelah beberapa kali tak bisa dihubungi
👩: Cinto sudah di mana sih? Dari tadi ditelpon susah. *intonasi meninggi
👨: Batre lobet ma, jadi baru diaktifin sekarang, ada apa ma? *ckckckck memang telpon harus butuh alasan yeeesss???
👩: Aku ama anak-anak lagi nunggu di pintu keluar paling kanan nih, daritadi ribut nanyain papa mana papa mana, emang papa udah keluar?
👨: Apa??? Emang kalian sekarang di mana?
👩: Ya di bandara lah
👨: errrrrrr. Ngapain ke bandara? Papa udah sampai blok-M
👩: APAAAAAAAAHHHHHH *gondok maksimal

Berniat memberi kejutan dengan menjemput kekasih di bandara tanpa memberi informasi terlebih dahulu, tapi ternyata malah menerima kejutan yang lebih dahsyat. TRAGIS 😂😂😂

Clear and clarify itu penting tapi jangan lupa dengan choose the right time. Yaiyeiyeiyei salahmu deweee ya nduk pake acara sok romantyiiiisss.. .

H for ❤❤❤❤❤ Heart

👶: Ma, atiiit ma *sambil nunjukin luka di mulutnya yang memang benar2 sakit
👩: Sakit ya sayang, sini sini mama pegang.
👶: *udah sumringah lagi
.
.
👶: Haus maa *merengek kehausan
👩: Iya tunggu sebentar ya dek, masih belum boleh minum dulu
👶: *rengekannya makin menjadi
👩: Mama ayun-ayun gendong pake selendang yuukk
*Dan beberapa saat kemudian tertidur pulas, Alhamdulillah
.
.

Komprod yang nano-nano rasanya, bukan hanya tentang macam-macam yang diaplikasikan namun tentang gejolak rasa mama yang campur bawur terhadap anak dua tahun kurang sebulan ini yang mengalami musibah dan harus tindakan operasi.

Operasi dengan bius total untuk anak sekecil ini. Subhanallah wani’mal wakiil, ni’mal maula wani’man nashiir.

 

G for feel Guilty

Emosi sering diidentikkan dengan hal negatif, padahal secara harfiah, emosi merupakan gambaran reaksi alamiah yang timbul sebagai dampak terjadinya perubahan disekitar. Oleh karena itu, emosi bisa muncul secara positif maupun negatif.

Mengenai emosi ini, hal yang penting adalah tentang how to manage your emotion, especially for negatif side.

Duluuuu banget saat masih punya anak satu, saya bisa katakan dengan lantang bahwa saya tak pernah sekalipun marah kepada anak saya. Waktu itu, saya sampai heran kenapa ada ibu yang tega memarahi anaknya. Ternyata ketika anak kedua lahir kondisi emosional saya menjadi kacau, kesabaran saya menurun drastis. Sempat pada suatu malam saya menaikkan volume suara saya ke Sybil karena sesuatu hal, anak yang notabene sama sekali belum pernah saya marahi, kemudian mendapatkan mimik dan intonasi suara yang sedikit berbeda pasti langsung kaget. Saya benar-benar sangat bersalah, saya menangisi kekeliruan itu dan meminta maaf kepadanya. *pun menuliskan ini rasanya ada sesak di dada.

Makin kesini dengan kondisi anak dua bertambah besar yang sering melejitkan drama, emosi negatif saya sering tersulut walau munculnya pun sebenarnya tidak bisa dibilang marah, namun benar-benar perlu untuk dimaintain dengan benar. Karena poin komunikasi produktif salah satunya mengendalikan intonasi suara & gunakan suara ramah dengan rumus 7-38-55, 7% verbal, 38% intonasi suara, 55% bahasa tubuh.

Siang ini saya gagal memanage emosi negatif saya. Saya bereaksi berlebihan terhadap emosinya Sybil. Saat mau mengantar dagangan di kompleks dengan kondisi saya yang sedang tidak enak badan (kaaan, lagi-lagi saya menyalahkan keadaan 😢 untuk mencari pembenaran) :

👱: Mama mau kemana koq pake kerudung?

👩: Mama mau ke rumah tante **** nganterin ini mas, mau ikut?

👱: iya ma, mas Sybil mau ikut

👩: yauda yuukkk, mama mau minta tolong papa ngeluarin motor

*karena bawaan yang segambreng, papa berniat mau nganterin mama muter kompleks, tapi ternyata ada yang protes.

*Sybil diam membisu tidak mau naik motor tapi tangannya memegang kencang stang motor.

👨: Ayo mas naik, mau di depan apa duduk dibelakang?

*no respon hanya pipi yang semakin cembung

👩: Mas, udah mau ujan nih, ayook. Jadi ikut nggak? Kalau tidak naek mama mau pergi sendiri saja.

👱: *masih tak bergeming

*Saya paham benar bahwa keputusan pergi bertiga itu diluar kesepakatan, awalnya kami akan pergi berdua saja, mama yang membawa motor dan Sybil yang menemani. As simple like that

*Tapi kondisi (lagi-lagi menyalahkan) saat itu benar-benar tidak bisa membuat saya berfikir jernih.

👩: yasudah kalau mas tidak mau naek. *saya lepaskan helm ke suami, dan saya berjalan kaki sambil bawa tentengan besar dagangan dibawah langit yang mulai mendung. Dan sybil pun menangis teriak-teriak. 😭😭

Emosi saya tersulut, intonasi suara saya meninggi dan saya tidak berfikir panjang. Dan tahukah apa yang membuat saya semakin feel Guilty?

Beberapa saat ketika saya sampai di blok sebelah, ada motor yang menghampiri saya, ternyata suami dan Sybil. Entah dialog seperti apa yang terjadi diantara mereka sehingga berhasil membawa membonceng Sybil.

👨: Udah nih ketemu mama, mama yang bawa motornya. *papa pun turun dari motor dan berlalu balik pulang dengan jalan kaki

*mama pegang setir motor sambil dipeluk erat mas Sybil sesuai dengan gambaran kesepakatan awal 😍😍

See, betapa tidak sabarnya saya jadi seorang ibu, betapa sederhananya permintaan seorang anak. And i’m guilty. GUILTY.

​F for Filtration (agak maksa 😜)

Emak-emak perfeksionis dengan anak balita pastinya tidak asing dengan keinginan untuk memilah-milah mainan anaknya agar tak campur bawur.

screenshot_20180530-1707571983776893.jpg

Pernah saking rajinnya mama mencoba mengklasifikasikan mainan anak-anak sesuai dengan jenisnya, yeeeaaaaaaaai need 2 days times (atau mama yang gak pinter pilah2 nih) tapiiiiii hanya bertahan hitungan hari. HARI. Langsung mama pijat-pijat kepala.

Episode kehilangan mainan.

👱: Ma, mainan pipa sybil mana?

👩: sudah dicari belum mas?

👱: *ogah-ogahan nyari

👩: Yuuuk ayo mama bantu nyari

👱: Nggak ada ma *sambil mulai merengek

👩: mama selalu bilang untuk menyimpan mainan sendiri ditempat semula kalau sudah selesai dipakai biar tidak susah mencarinya.

👱: *merenguuut sampe pipinya cembung 😌😌

👩: Buku di rak buku, lego di kardus, blablabla, coba sekarang mas belajar rapihin mainannya sendiri *sambil mempraktekkan

Well, dia akan mengikuti namun beberapa saat kemudian lupa. Tugas mama lah selalu mengingatkan dengan menahan diri tidak dengan tersulut emosi 😎😎.

Sepenggal percakapan diatas merupakan salah satu pengaplikasian komunikasi produktif dengan poin ‘Fokus pada solusi bukan pada masalah’.

 

E for Empathy

Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia secara fitrah membutuhkan bantuan orang lain, makanya dalam ilmu sosiologi disebut sebagai makhluk sosial. Untuk menjaga hubungan yang harmonis antara sesama dibutuhkan suatu kondisi emosional mendalam dari individu-individu dalam berinteraksi. Kondisi perasaan tersebut dinamakan sebuah empati.

Banyak versi tentang pengertian apa itu empati, dan versi Alfred Adler cukup mewakili menurut pemahaman saya.

Empati itu merupakan sikap menerima apa yang dirasakan oleh orang lain lalu ia menempatkan dirinya pada posisi orang tersebut. Menurut Adler, empathy memiliki arti “to Feel in”, artinya berdiri sejenak pada sepatu orang lain untuk dapat merasakan betapa dalamnya perasaan orang lain tersebut

Artinya ketika seseorang telah berempati maka orang tersebut mampu mengetahui mood dan pikiran orang lain, mereka akan berada dalam satu frekuensi. Oleh karena itu, dengan empati, permasalahan yang ada antar individu akan lebih cepat terselesaikan karena dapat mendorong seseorang melihat different point of view sehingga lebih terfokus untuk menyelesaikan masalah daripada menimbulkan masalah.

Dan empati sebaiknya ditumbuhkan ke anak sejak dini, diperkenalkan-dicontohkan-dilatih di rumah. Seringkali tanpa tersadar kita abai terhadap perasaan anak, tidak menerima perasaannya, bahkan salah respon terhadap perasaannya. Maka tak heran “mengucapkan kalimat yang mengandung empati” masuk dalam bab komunikasi produktif terhadap anak. Dengan kita berempati terhadap anak, kedekatan emosi akan terbangun.

Arro, anak kedua saya, adalah sosok yang struggle, fighter, gak mau kalah, penyerang (sepertinya tipikal seorang adek) tapi kolokan 😂😂😂. Kebentur dikit, ngadu sakit. Kesenggol siMas dikit, ngadu sakit. Jatuh dikit, ngadu sakit. Digodain siMbah dikit, ngadu. Blablabla. Padahal kalau memang sakit beneran pasti langsung menangis kencang, itu cuman aduan ala buaya sodara-sodara. Gemeeezzz. Tapi kami sekeluarga selalu merespon aduannya dengan sepenuh hati, menunjukkan rasa empati.

*saat main bersama siMas trus kesenggol tangan

👶: Mama atiiiit *sambil nunjukin tangannya yang tersenggol

👩: oh sini nak, mana yang sakit? *saya meniup dan mengusapnya

👩: udah, udah sembuh nih

👶: *cengar-cengir dan meneruskan bermain lagi

Yuuk mari kita tumbuhkan empati ke anak, pahami dan rasakan perasaan mereka. Jangan ciderai fitrah rasa mereka.

 

D for Drawing

Menggambar dan mewarnai merupakan aktivitas yang menyenangkan bagi anak-anak. Melalui hal tersebut, imajinasi, kreativitas dan suasana hati yang ada di kepala mereka tertuang.

Selain itu mereka pun belajar banyak hal, mulai dari mengenal warna, melatih menggenggam pencil, koordinasi mata-tangan, motorik, konsentrasi, mengenal garis batas bidang dan membuat target.

Khusus untuk tipikal anak perfeksionis, alih-alih membuat mereka senang malah bisa menyulut emosi 😎 yang kadang berimbas ke anggota lainnya 🙄😏.

Mas Sybil sejak kecil sudah tak asing dengan spidol warna, pertama kali saya beli saat dia berumur setahun. Saya mengajaknya untuk coret-coret buku dan lantai, yessss dinding rumah saya bersih dari mural *joget-joget ala korea 😉.

Mengenal garis batas bidang merupakan poin yang selalu memicu drama [kala itu], bagaimana tidak, ketika sedang asyik mewarnai dan ada sedikit saja warna yang keluar batas, maka emosi langsung tersulut, teriak-teriak, nangis-nangis, bahkan pernah mutung dan tidak percaya diri untuk mewarnai lagi. My perfect boy 😍.

👩: wah ada gambar pesawat nih di buku baru, bagaimana kalo kita mewarnai

👦🏼: gak mauuu, mama saja yang mewarnai

👩: eh kenapa gak mau mas?

👦🏼: mas Sybil gak bisa, jadi kalo warnanya keluar batas gitu mas Sybil gak mau ma, gambarnya jadi gak bagus *sambil matanya berkaca-kaca

👩: gak apa-apa sayank, namanya juga belajar, entar lama-lama mas Sybil pasti bisa

👦🏼: gak mau mama, gak mau

Itu duluuuuuuuuuu.

Lain dulu lain sekarang.

Saya pun tertegun ketika ada yang asik sendiri mewarnai di pojok playground rumah kami dan dengan sumringahnya menunjukkan hasil karyanya.

👦🏼: ma, lihaaaat, mas Sybil bisa mewarnai

👩: wah masyaAllah, bagus sekali hasil mewarnainya mas *berlanjut membahas panjang kali lebar kali tinggi detail gambarnya 😂.

See, kalimat afeksi positif membuahkan hasil.

Mengubah kata “Tidak Bisa” menjadi “Bisa” .

Otak kita akan bekerja sesuai kosa kata. Ketika kita mengatakan “Bisa”, maka otak akan bekerja mengumpulkan data-data pendukung dan  membuka jalan untuk mencari faktor-faktor penyebab “Bisa”.

_______________________________________________________________________________________

“Satu cara terpenting dalam membantu anak-anak tumbuh dewasa adalah : kita harus tumbuh dewasa terlebih dahulu.” Anonymous

B for Baking

Hari libur mama adalah waktu yang biasa saya gunakan untuk eksperimen masak-memasak, walaupun bukan tiap wiken. 😂

Wiken ini saya dan anak lanang eksekusi membuat pokis (red: pukis) yang mana sudah disounding mas Sybil sejak 2 hari yang lalu. Well,,,, tiap minggu dia selalu minta beli pokis di pasar malem dekat rumah, saya sempat nyeletuk ngajak bikin sendiri dan akhirnya ditagih terus-menerus 😎😎.

Dalam prakteknya, mama bertugas sebagai supervisor dan mas Sybil sebagai eksekutor. Saya terapkan metode KISS (Keep Information Short & Simple). Dari mulai memarut keju cheddar, menakar gula&garam, menakar santan semuanya mas Sybil lakukan sendiri dengan pengawasan mama. Mama tinggal finishing mencetak.

👱: mama, mas Sybil saja ya yang marutin kejunyaa

👩: oke mas, kejunya yang diparut separuh saja ya.

*he did it well lastnight

Saat mama menurunkan timbangan kue dari lemari

👱: ma itu timbangan ya? mas Sybil boleh yang nuang gula?

👩: iya mas, timbangan kue namanya, gulanya dituang sampai timbangannya di angka 200 ya

*he did it

Saat mama menakar santan

👱: ma, ini airnya mau sampai berapa? 👩: santannya ditambah air sampai angka 400 ya mas.

*he did it again 😍😍😍.

Voilaaaaaa, jadi lah pokis ala kue cubit karena mama gak punya cetakan, adanya cetakan takoyaki. Langsung sekali lhep. 😂😂

Lain kali bikin-bikin tapi mama liat doank yaaaa 😜😜😜

__________________________________________________________________________________________

Ketika hidup ini hanya untuk diri sendiri, maka ia akan terasa sangat singkat dan tak bermakna. Tapi ketika hidup ini kita persembahkan untuk orang lain, ia akan terasa panjang, dalam, dan penuh makna (Sayyid Quthb)